Bagai mana Cara Membangun Citra Lembaga Penyelenggara Pendidikan Nonformal PKBM ?

 Penguatan Pendidikan Non-Formal dalam Membangun Kemandirian
1. Membangun Citra Lembaga Penyelenggara Pendidikan Nonformal (PKBM dan Model Lembaga Layanan Pendidikan Nonformal lainnya)

Salah satu lembaga satuan pendidikan nonformal yang saat ini memberikan layanan pendidikan nonformal kepada masyarakat adalah PKBM (Cummnunity Learning Center). Jumlah PKBM di Indonesia sampai tahun 2006 mencapai 3.064, pada tahun 2010 PKBM meningkat jumlahnya mencapai 4014, dari jumlah tersebut PKBM yang terakreditasi baru sekitar 93 (2,32%) lembaga, PKBM negeri sekitar 95 (2,37%)

Jepang memiliki Kominkan (PKBM) mandiri (independent) atau autonomous Kominkan (Kominkan yang didirikan masyarakat) mencapai 76.883, sedangkan jumlah legal kominkan atau kominkan yang dibayai pemerintah atau didirikan pemerintah kota mencapai 18.000. 

Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan jumlah PKBM yang ada di Indonesia, begitu pula dengan fasilitas yang dimiliki di dalamnya. Kenyataan ini menunjukkan betapa kurangnya jumlah dan kualitas PKBM dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang perlu dilayani dan membutuhkan program pendidikan nonformal. Oleh Karena itu perlu terobosan baru bagi peningkatan jumlah dan kualitas PKBM ke depan, baik itu pendataan jumlah PKBM, mendorong masyarakat untuk mendirikan PKBM, melakukan akreditasi lembaga dan akreditasi program-program yang dikembangkan PKBM. 

Akreditasi dilakukan agar reputasi dan pencitraan PKBM ke depan lebih baik lagi. Di samping itu pula perlu adanya keseriusan pemerintah dalam mengembangkan dan membina PKBM serta lembaga satuan penyelenggaran pendidikan nonformal lainnya, terutama melalui penetepan peraturan khusus (perundangan) dalam rangka memberikan penguatan kepada lembaga-lembaga tersebut. Hal itu seperti telah dilakukan Pemerintah Jepang terhadap Kominkan melalui shakai kyoiku atau aturan tentang life long learning promotion low tahun 1990.

Hal lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan kerjasama dengan pengelola PKBM untuk menata ulang struktur dan organisasi PKBM agar kekuatan lembaga dan kapabilatas manejemen PKBM lebih profesional.
Disamping penguatan PKBM, pemerintah juga perlu memberikan penguatan kepada lembaga lain non PKBM serta mendorong masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam pengembangan model-model lembaga layanan program pendidikan nonformal lainnya bagi masyarakat yang membutuhkan. Namun demikian model layanan pendidikan nonformal seperti ini perlu adanya peraturan khusus (standarisasi), agar pengembangannya sesuai dengan aturan yang berlaku.
Lembaga-lembaga yang secara khusus mengembangan layanan program pendidikan nonformal baik itu PKBM maupun lembaga lainnya harus diorganisasikan dalam cara-cara yang dapat menjamin keberlanjutan program, juga pengembangan program yang diversifikasi ke arah penguatan kelembagaan ekonomi sehingga program-program yang dikembangkan mampu membangun kemandirian masyarakat.

2. Meningkatkan Kualitas dan Kuntitas Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi).
 
Seperti dijelaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa kehadiran pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah), tentu saja dimaksudkan dan diharapkan untuk dapat memberikan layanan terbaik yang bermutu sehingga benar-benar bisa menjawab kebutuhan belajar masyarakat (peserta didik) yang menghajatkannya (Sanafiah Faisal, 2007). Untuk itu, diperlukan kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan yang dapat diandalkan. Karena, keberlangsungan beserta kinerja bermutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal akan sangat bergantung pada kemampuan dan profesionalisme mereka, lebih-lebih dalam pengorganisasian program pembelajaran di luar sistem persekolahan yang menuntut lebih banyak terobosan dan keluwesan di dalam memenuhi kebutuhan, kesempatan, dan aspirasi masyarakat sebagai peserta didik (Smith dan Offerman, 1989, 249-257; Elting, 1975: 21-22).

Tuntutan kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam membina dan mengembangkan pembelajaran di luar sistem persekolahan juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan pendayagunaan sumber-sumber dan peluang belajar yang memungkinkan, tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan, kesempatan, dan aspirasi peserta didik (warga belajar). Hal demikian itu mengharuskan (standar) kemampuan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal (tutor, pamong, trainers, laboran, pengelola program, penilik dikmas) yang memiliki extraordinary knowledge atau bertingkat tenaga profesional (Wilson dan Hayes, 2000: 18). Itu menunjukkan betapa pentingnya standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal yang sejalan dengan tuntutan profesionalisasi program layanan pendidikan di luar sistem persekolahan. 

Hal tersebut sesuai dengan gagasan utama yang melahirkan ”spesialisasi pendidikan di luar sistem persekolahan” sebagai suatu bidang kajian ilmiah (field of study) dan bidang profesi (field of practice) tersendiri; kehadiran bidang spesialisasi ini semenjak awal memang dimaksudkan untuk memperbaiki praktik pendidikan yang berlangsung di luar sistem persekolahan, apa pun tujuannya, serta siapapun penyelenggara dan peserta didiknya (Wilson dan Hayes, 2000: 6; Courtney, 1989: 18-19).

Merujuk ke arah pemikiran tadi, peningkatan kualifikasi akademik dan pendidikan profesi pendidik dan tenaga kependidikan nonformal dihadapakan kedalam berbagai tantangan dan perkembangan mutakhir pendidikan (pendidikan nonformal), yang menyangkut keragaman peserta didik/warga belajar keragaman program dan perkembangan mutakhir model-model pembelajaran (Alan Rogers 2004). Di samping itu pula dampak pasar dan kebutuhan akan program-program pendidikan nonformal yang berkesinambungan dimana peran pendidikan nonformal sebagai jembatan antara pendidikan formal dengan dunia kerja (bridging gap) akan semakin jelas manakala didukung oleh pendidik dan tenaga-tenaga kependidikan nonformal yang profesional dan memiliki kompetensi tinggi. 

Khusus untuk pendidikan profesi bagi pendidik pendidikan nonformal perlu ditata ulang terutama rancang bangun sistem manajemen pendidikan pendidik di lingkungan pendidikan nonformal, model kurikumunya serta penguatan LPTK/perguruan tinggi yang membidanginya dan tidak hanya sekedar ikut-ikutan (follower) kepada apa yang telah dilakukan oleh pendidikan profesi guru formal, oleh karena itu penetapan payung hukum, penetapan LPTK dan standar pengelolaannya harus terintegrasi dan mulai dikembangkan. Hal itu akan menentukan sistem (standar) kualifikasi pendidik pendidikan nonformal, pengelolaan sumberdaya pendidik pendidikan nonformal, juga model insentif yang diterapkan terutama menyangkut reputasi dan finansial. Sebagai sebuah ilustrasi tunjangan bagi pendidik pendidikan nonformal (tutor kesetaraan) hanya Rp.125,000/bulan bandingkan dengan tujangan profesi guru hampir mencapai 100% gaji pokok. Padahal keduanya memiliki peran dan tugas yang sama mencerdaskan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. (Standar Pendidikan Nasional No. 19 tahun 2005.)

3. Standarisasi Program Pendidikan Nonformal
Standar nasional pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Standar pendidikan nasional bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. (Standar Pendidikan Nasional No.19 tahun 2005).
Atas dasar itulah semua penyelenggaraan pendidikan nonformal seperti; program (isi dan proses), pendidik dan tenaga kependidikan, penyelenggara (pengelola), sarana prasarana yang dibutuhkan, kompetensi lulusan, pembiayaan dan penilaiaan pendidikan, harus mengacu ke dalam standar-standar yang telah ditetapkan. Namun demikian saat ini dirasakan sangat sulit sekali bagi sebuah penyelenggaraan pendidikan nonformal untuk ikut standar minimal sekalipun. 

Karena masih banyak sekali penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal yang tertatih-tatih jangankan tersentuh teknologi informasi yang semakin canggih, atau ikut berlomba menjadi penyelenggara pendidikan nonformal bertaraf internasional (PKBM bertaraf internasional) seperti halnya sekolah (RSBI), untuk sekedar mendapatkan bahan ajar yang representative saja menjadi sebuah barang langka (impian). Banyak sekali tutor/pendidik dan warga belajar (peserta didik) di kundasang, sandakan, daerah perbatasan dengan Negara Malaysia, atau di daerah pedalaman yang harus berjalan belasan kilometer menuju tempat belajar namun setelah datang ke tempat belajar ternyata kelasnya hanya cocok untuk dihuni kerbau. 

Bagaimana kondisi ini apabila dikaitkan dengan standar pendidikan nonformal yang sudah dilahirkan (dipermenkan), kapan akan diperoleh PKBM dan penyelenggara satuan pendidikan nonformal lainnya yang bermutu, proses pembelajaran tertatih tatih (gasps) lulusan yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menatap masa depan apabila kondisi seperti itu tetap dibiarkan. Untuk itulah sentuhan para pemikir, praktisi pendidikan nonformal dan agen pembaharu pendidikan sangat dibutuhkan, sehingga mampu mendorong masyarakat, dunia swata, dan lembaga-lembaga lainnya agar berpartisipasi secara penuh dalam membangun dan mengembangkan penyelenggaraan satuan-stauan pendidikan nonformal yang lebih representative, dan sesuai standar pendidikan nasional yang telah ditetapkan.

Disamping itu pula penguatan peran-peran penjamin mutu pendidikan non formal, BPPNFI, BPKB, SKB sebagai pengembang model program, model pembelajaran dan peran-peran lainnya untuk terus giat dan melakukan kerjasama dengan masyarakat, perguruan tinggi/LPTK dan lembaga lain yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan nonformal untuk tidak henti-hentinya membantu masyarakat membantu para penyelengara pendidikan nonformal, membantu dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan. Yang pada akhirnya mutu pendidikan nonformal bukan merupakan isapan jempol belaka akan tetapi betul-betul dapat terwujud sesuai dengan tuntutan standar pendidikan nasional, yakni mampu melahirkan lulusan (warga belajar/peserta didik) yang mandiri dan bermartabat.

4. Meningkatkan Reputasi Akademik bagi Jurusan PLS

Modal utama tenaga profesional pendidikan nonformal untuk dapat mengembangkan program, mengembangkan pembelajaran, membangun jejaring, meningkatkan partisipasi masyarakat dan mengelola program pendidikan nonformal secara efektif dan menjanjikan, adalah dihasilkan melalui Perguruan Tinggi/LPTK yang juga bermutu tinggi dan unggul. Karena Perguruan Tinggi/LPTK itulah yang selama ini membina dan mengembangkan konsep pengembangan pendidikan nonformal (PNF) secara utuh sesui dengan tuntutan lapangan (pendidikan masyarakat).

Meningkatnya teknologi pembelejaran pendidikan nonformal, beragamnya satuan penyelenggara pendidikan nonformal, beragamnya jenis program yang dikembangkan, permasalahan-permasalahan pendidikan nonformal, semakin tingginya tuntutan akan layanan pendidikan nonformal serta tuntutan pemerintah dan masyarakat akan mutu profesi pendidikan nonformal, maka seyogyanya perguruan tinggi/LPTK yang memiliki jurusan PLS perlu melakukan berbagai pembaharuan. 

Salah satu pembaharuan yang harus dilakukan adalah merumuskan kembali visi, misi dan tujuan yang selaras dengan perkembangan pendidikan nonformal saat ini. Untuk menjawab hal itu diperlukan rencana aksi (action plan), berbagai terobosan, riset (penelitian lapangan), pengkajian berbagai ilmu, teori dan model-model praktik yang selama ini telah dikembangkan di dunia pendidikan nonformal. Oleh karena itu beberapa kegiatan yang sekiranya dapat dilakukan adalah:
a. Mengembangkan visi masa depan pendidikan luar sekolah sebagai satu-satunya jurusan yang membidangi dan menghasilkan lulusan yang secara profesioanl dan kompeten dalam bidang pendidikan nonformal.
b. Mengkaji kembali struktur dan isi kurikulum jurusan pendidikan luar sekolah yang sesuai dengan tuntutan profesi pendidikan nonformal dan perkembangan mutakhir keilmuan dan teori-teori pendidikan terutama keilmuan dan teori pendidikan nonformal.
c. Meningkatkan reputasi akademik jurusan melalui berbagai kegiatan; penelitian, penerbitan jurnal terakreditasi, penulisan buku-buku 

Pendidikan Nonformal (PLS), mengembangkan model-model pembelajaran yang berdasar pada prinsip andragogi sehingga model-model tersebut dapat diakses secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat, melakukan seminar-seminar nasional dan internasional, melakukan kerjasama nasional dan internasional (Univesitas/PT dan lembaga PNF lainnya), mengembangkan manajemen profesional untuk mencapai standar nasional pendidikan (SNP), sertifikasi organisasi internasional (Internasional Organiztion for standardization atau ISO), akreditasi BAN dan akreditasi badan atau asosiasi profesi nasional dan internasional, haki, dan standar internasional lainnya.

d. Menguatkan kembali laboratorium belajar masyarakat, sebagai tempat program latihan profesi mahasiswa, baik melalui desa PLS, kampung PLS maupun bentuk lain yang serupa.
e. Menggairahkan kembali asosiasi-asosiasi profesi pendidikan nonformal, APPNFI, ISPPSI, IKAPNFI, sebagai wadah mpenyalur aspirasi profesi pendidikan nonformal dan penjaminan mutu melalui asosiasi profesi.
f. Melakukan pertemuan berkala antar taman sejawat dilingkungan Jurusan PLS (temu colegial), untuk membahas berbagai permasalahan pendidikan nonformal terutama penguatan profesi pendidikan nonformal, melalui berbagai kajian ilmiah, kompetensi
g. Dengan beragamnya jenis dan bentuk layanan pendidikan nonformal, dirasa perlu Jurusan Pendidikan Luar Sekolah dikembangkan menjadi sebuah Fakultas PLS, namun demikian untuk menuju kearah itu perlu pengkajian (penelitian) yang mendalam dan strategis agar keberadaan Fakultas PLS betul betul dibutuhkan dan mampu menjawab tuntutan dan tantangan pembangunan pendidikan nonformal ke depan.

Sumber:
MEMBANGUN KEMANDIRIAN BANGSA MELALUI PENGUATAN PENDIDIKAN NON-FORMAL
oleh: Prof. Dr. Mustofa Kamil (Guru Besar/Profesor dalam bidang Kurikulum Pembelajaran pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia)

Comments

Popular Posts